Pengunjung

Rabu, 05 Desember 2018

Sepasang Pemendam


Hujan sepertinya segera reda, sedangkan kita
selalu masih memendam, betah terbungkam
mendengar tetes yang bercinta dengan jendela,
memandangi asbak kering, deting jam dinding,
dan debar asmara di mata masing-masing.

Apa benar besok masih ada pagi dengan rasa
yang sama seperti hari biasa di luar malam ini?
Apa benar tetangga tak mendengar desah kita
karna rintik sedang lebih berisik dari kepala?

Sebentar lagi deras akan tuntas, angin keringkan
bercak bibir hujan di jendela, lalu rintik jadi terik.
Jika kita bersetubuh bisakah hanya tubuh saja
tanpa karut, tanpa membawa tanda tanya,
atau ketakutan apa-apa.

Bisakah kita hanya bersetubuh
pelan seperti tunas yang tumbuh
lepas terjatuh tanpa menjauh?

Rabu, 03 Oktober 2018

01/10/18

Pukul lima pagi―halaman langit masih kosong
seperti kepala orang-orang kota, kamu limpahkan
aku satu senyuman sambil bergegas kerja.

Di perjalanan angin mungkin akan mengeringkan
rambutmu, basah pakaian, serta harapan
tentang tumpahnya kita dalam pelukan.

Pukul enam petangjalanan menelan senja 
sedang bulan belum bicara, senyummu 
masih berdenyut deras di kepala.

Rabu, 20 Juni 2018

Untuk anak laki laki yang juga tanpa pelukan ibu

Mungkin kau kecewa karna kini kenangan dan
keinginan ibu telah berhenti bertambah,
sementara masih ada amin yang belum aman.

Tubuh ibu telah meninggalkan baju bumi, pergi
terlelap ke dalam peti―di sebelahnya, kamu anak manis
yang tersenyum sambil bertangis tangis mengatakan
“hati hati di jalan, bu. Perjalananmu ini
adalah rindu yang abadi.”

Kita laki-laki kerap kali bertanya untuk apa
masih menangis. Mungkin untuk melegakan rasa,
lebih mungkin lagi untuk merasakan lega.

Nanti ketika tiap pedih dan pulih tiba-tiba tiba
atau terlelap pada segenap pernah yang telah tiada,
semoga kauingat untuk setia menggendong doa orang tua

tanpa bertanya akan kemana peluk empuk itu
bersembunyi, sebab ibu sedang mekar dalam makam.
Ibu sedang sungguh segar di surga
yang kita juga akan segera