Pengunjung

Rabu, 09 Juni 2021

Riwayat Hikayat

Dan liang itu memelukmu selamanya. Tidak ada Bandung, Batam, dan Jakarta. Tidak ada kota, kata, atau kamar tempat merekam rebah kita.

Sebab semestinya kami bukan berduka--resah adalah riwayat tak mungkin rampung, tapi ketenanganmu telah abadi.

Peti pula puisi telah ditutup tanpa pamitmu; penghiburan sabtu itu orang-orang menyanyikan mantra merdu dan aku lihat doa-doa memanjat langit.

Tentramlah, terlelap nyenyak dan jangan mendengkur!

Selasa, 10 Maret 2020

Kitakah kehancuran yang kau khawatirkan? Kalender melingkari kepalamu seolah esok selalu senin, sementara minggu terlalu semu tanpa pelukan.

Kamu memimpikan pulang, bertemu masa kecilmu; masa-masa suci sebelum kita--sebelum dilumat cinta dan cita-cita.

Tapi takut dan tekad tetap anak kembar; keduanya sepasang kota yang tumbuh lebat seperti waktu, menjauhkan kamu dari tidur (atau aku).

Kitakah kehancuran yang kau khawatirkan? Maksudku, akukah masa depanmu yang berlalu?

Kamis, 18 April 2019

Meluncurkan Riuh

Di antara libur yang tak lebar, 
engkau tersesat dalam tubuhmu 
sendiri.

Laut membuahi langit dan melahirkan hujan, 
bibit dan tanah bersentuhan menumbuhkan dahan, 
tapi kepala kita tetap terpisah dari harapan.

Aku terbangun dari tubuhmu. 
Kuingat pulang adalah pawang 
bagi rindu-yang menulang, katamu.

Di ketinggian, hidupmu hanya
gusar terapung seperti mendung.
Kamu sekadar ingin ruang, guna 
merayakan hari lahir sendirian.

Rabu, 05 Desember 2018

Sepasang Pemendam


Hujan sepertinya segera reda, sedangkan kita
selalu masih memendam, betah terbungkam
mendengar tetes yang bercinta dengan jendela,
memandangi asbak kering, deting jam dinding,
dan debar asmara di mata masing-masing.

Apa benar besok masih ada pagi dengan rasa
yang sama seperti hari biasa di luar malam ini?
Apa benar tetangga tak mendengar desah kita
karna rintik sedang lebih berisik dari kepala?

Sebentar lagi deras akan tuntas, angin keringkan
bercak bibir hujan di jendela, lalu rintik jadi terik.
Jika kita bersetubuh bisakah hanya tubuh saja
tanpa karut, tanpa membawa tanda tanya,
atau ketakutan apa-apa.

Bisakah kita hanya bersetubuh
pelan seperti tunas yang tumbuh
lepas terjatuh tanpa menjauh?

Rabu, 03 Oktober 2018

01/10/18

Pukul lima pagi―halaman langit masih kosong
seperti kepala orang-orang kota, kamu limpahkan
aku satu senyuman sambil bergegas kerja.

Di perjalanan angin mungkin akan mengeringkan
rambutmu, basah pakaian, serta harapan
tentang tumpahnya kita dalam pelukan.

Pukul enam petangjalanan menelan senja 
sedang bulan belum bicara, senyummu 
masih berdenyut deras di kepala.

Rabu, 20 Juni 2018

Untuk anak laki laki yang juga tanpa pelukan ibu

Mungkin kau kecewa karna kini kenangan dan
keinginan ibu telah berhenti bertambah,
sementara masih ada amin yang belum aman.

Tubuh ibu telah meninggalkan baju bumi, pergi
terlelap ke dalam peti―di sebelahnya, kamu anak manis
yang tersenyum sambil bertangis tangis mengatakan
“hati hati di jalan, bu. Perjalananmu ini
adalah rindu yang abadi.”

Kita laki-laki kerap kali bertanya untuk apa
masih menangis. Mungkin untuk melegakan rasa,
lebih mungkin lagi untuk merasakan lega.

Nanti ketika tiap pedih dan pulih tiba-tiba tiba
atau terlelap pada segenap pernah yang telah tiada,
semoga kauingat untuk setia menggendong doa orang tua

tanpa bertanya akan kemana peluk empuk itu
bersembunyi, sebab ibu sedang mekar dalam makam.
Ibu sedang sungguh segar di surga
yang kita juga akan segera

Minggu, 19 November 2017

Menyalakan Lampu

: E. Amalia

Ketika kamu menyalakan lampu senja hari, anak anak sedang diminta berhenti main bola. Sebab ibu begitu ingin anaknya bahagia, sambil sesekali mencegahnya.

Ketika kamu menyalakan lampu senja hari, ternak ternak sedang digiring masuk kandang, burung burung terbang menghilang, dan orang orang kerja bergerak pulang. Sebab saat senja tiba, masing masing musti mulai menuju rumah.

Ketika aku menyalakan lampu senja hari, selalu kubayangkan kamu pulang ―enggan meninggalkan aku lagi.